Saya pikir kamu tahu

Dalam keseharian, hidup kita dihiasi dengan harapan dan doa. Berharap dahulu, berdoa kemudian. Kalau tidak apa yang mau didoakan. Sebagian yang lain bisa berbeda.

Dalam keseharian juga kita berinteraksi dengan banyak pihak. Ada manusia pastinya. Ada keluarga,. Ada teman atau rekan kerja. Ada orang baru dikenal. Masing masing bisa kita kelompokkan dalam kedekatan.

Antara harapan, manusia dan kedekatan ternyata ada sebuah relasi yang saling tersambung.

Semisalkan dengan keluarga. Contoh saja pasangan. Setiba di rumah, ada istri yang menyambut dengan senyum. Itu harapan. Seorang istri membukakan pintu saat suami pulang ke rumah, ada sayang di kening yang ditempelkan. Itu harapan.

Ternyata kenyataannya bisa berbeda.

Buka pintu, istri belum ada di rumah semisalkan karena masih dalam perjalanan pulang. Buka pintu, muka suami masih emosi karena di jalan kena macet berat dan mobil diserempet motor. 

Gagal harapannya.

Demikian pula hubungan kerja. Seorang atasan minta laporan proyek yang dikerjakan dua minggu lalu, dan bisa disediakan tepat waktu. Seorang bawahan minta persetujuan kegiatan segera agar bisa mempersiapkan dengan baik.

Kenyataannya berbeda. Laporan belum bisa tersedia karena kegiatannya baru kemarin dimulai. Atau bukan disetujui proposalnya malah diberondong dengan banyak pertanyaan.

Runtuh harapannya.

Dalam tarikan tafsir sementara, orang lebih berharap pada orang orang yang lebih dekat dengan mereka. Semakin jauh relasi dengan orang orang tersebut, semakin rendah harapannya.

Semisalkan, kalau calon pelanggan baru yang ditawari produk ternyata menolak membeli. Ya kita bisa tersenyum. Belum rejeki. Ke rumah seseorang yang baru kenal dan tidak disuguhi minum, ya biasa saja. Mungkin biasanya begitu. Ada pemikiran lebih positif di dalamnya.

Bagaimana kalau dengan orang dekat.

Harapan yang tinggi, berbanding lurus dengan kekecewaan. 

Bangun tidur harapannya ada minuman, ternyata tidak ada. Ya kecewa, bahkan emosi sampai marah marah. Dengan supir yang 5 tahun membawa mobil dengan aman, saat suatu hari mobil terserempet, ngomelnya sampai kemana mana. 

Semakin dekat relasi kita, semakin tinggi harapannya, semakin mudah kecewa, dan semakin mudah emosi memuncak.

Sebenarnya mengelola harapan bisa dilakukan dengan menambahkan nilai sabar di dalamnya. bisa juga ditambahkan nilai sayang. Atau nilai positif lain yang menetralisir saat kenyataan tidak sesuai harapan.

Oh mungkin dia lelah. Oh mungkin orang lain yang nggak sengaja menyerempet mobil, dia sudah hati hati. Oh mungkin dia tidak tahu.

Jadi barisan kalimat kalimat seperti

"Saya pikir (berharap) kamu tahu."

"Saya pikir (berharap) kamu paham."

"Saya pikir (berharap) kamu berpikir sejauh itu"

dan banyak lagi penggalan kalimat

"Saya pikir (berharap) kamu ... "

bisa ditawarkan ekspektasinya dengan nilai nilai positif yang hadir mendamping.